Rabu, 24 Mei 2017

Tugas IBD pertemuan 4 Tentang Keadilan di Indonesia, Cita-citaku, Pandangan Hidup

Nama                           : Rifie Raenaldy
Npm                            : 56416374
Kelas                           : 1IA13
Matkul                         : IBD tugas ke 3
Narasi Cerita Keadilan di Indonesia
Bicara tentang keadilan, semua orang pasti sepakat keadilan itu hanya memihak kebenaran. Bahkan, Keadilan dianggap sebagai satu-satunya prinsip hukum yang paling diutamakan di antara 2 prinsip hukum lain yakni kemnafaatan dan kepastian. Adil berarti mendudukkan sebagai mana mestinya (sesuai porsinya) suatu perkara. Sikap adil memunculkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Hakim ibarat ‘wakil’ tangan Tuhan di muka bumi, dalam mengadili suatu perkara wajib mengedepankan prinsip keadilan. Namun bagaimana realitas pengadilan di Indonesia? Tengoklah kasus remaja pencuri sandal buntut yang terancam hukuman 5 tahun penjara! Dikutip dari suaramerdeka.com,  AAL remaja berusia 15 tahun tak pernah menyangka jika  sepasang sandal jepit butut warna putih kusam yang ditemukannya di pinggir Jalan Zebra, Kota Palu, akan menyeretnya ke meja hijau. Jaksa mendakwa AAL dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.Pencuri-Sandal-Jepit-Dihukum-Lebih-Berat-dari-Koruptor Lalu bagaimana dengan para koruptor yang telah mencuri uang milyaran rupiah? Sebut saja beberpa pelaku korupsi macam dengan terdakwa Budi Mulya dalam kasus korupsi pemberian FPJP Bank Century yang telah merugikan negara Rp 7 triliun dengan hanya vonis 10 tahun, terdakwa Indar Atmanto dalam kasus korupsi penggunaan jaringan telekomunikasi yang telah merugikan negara Rp 1,3 triliun dengan hanya vonis 8 tahun, atau mantan presiden PKS Luhfi Hasan Ishaq bersama rekannya Ahmad Fathanah yang menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama dalam kasus korupsi impor sapi yang hanya dihukum 16 tahun penjara dan denda Rp1 milliar. Memang baik kasus pencurian maupun korupsi sama-sama mempunyai kesamaan yakni sama-sama mengambil barang milik orang lain yang artinya kedua perbuatan tersebut adalah “terlarang”. Namun adakah keduanya sama persis? Apakah sama hasil curian sandal yang harganya tidak lebih dari Rp 50rb yang hanya merugikan satu orang saja dibandingkan dengan hasil korupsi milyaran rupiah yang telah menyengsarakan lebih dari 200 juta penduduk di Negeri ini? Marilah kita  tengok kembali! Anda penah belajar “perbandingan senilai” dalam matimatika? Coba kita hitung kedua kasus tersebut dengan menggunakan perbandingan senilai. Jika pencuri sandal yang seharga Rp 50rb dihukum 5 tahun penjara, maka berapa lama seharusnya mantan presiden PKS Luhfi Hasan Ishaq yang menerima suap Rp 1,3 milyar dihukum penjara? Rp 50.000 = 5 tahun penjara, berarti Rp 10.000 = 1 tahun penjara. Rp 1.300.000.000 = 130.000*Rp 10.000, Itu artinya hukuman penjara LHI seharusnya “130.000 tahun penjara”, wow lama banget tuh. Kita ambil umur rata-rata warga Indonesia adalah 60 tahun, maka 130.000 tahun dibagi 60 tahun = 2.166,6. Artinya sebanyak 2.166,6 anak-cucu-cicit-dst dari keturunan Lufhi Hasan Ishaq harus menanggung dosanya. Wow benar-benar gila. Hal ini belum termasuk implikasi sosial hasil dari perbuatan korupsi tersebut. Dan cobalah hitung, berapa Banyak rakyat Indonesia yang disenggarakan karena ulah LHI? Seribu rakyat, sejuta rakyat, 250 juta rakyat? Siapa yang tahu berapa pastinya? Jika unsur implikasi sosial tersebut dimasukkan berapa lama LHI harus dipenjara? Mungkin benar apa yang dikatakan oleh beberapa ahli hukum “idealis” yang menyatakan bahwa dosa hasil tindak pidana korupsi itu sampai 7 keturunan pun niscaya tidak akan habis mengingat korupsi adalah tindakan kejahatan “L-U-A-R B-I-A-S-A” destruktif. Lalu berapa lama penjara  yang seharusnya Budi Mulya dan   Indar Atmanto dihukum penjara? Dan faktanya, ICW mencatat bahwa mayoritas koruptor dihukum ringan hanya 1-2 tahun penjara. Seandainya hukum di Indonesia menerapkan asas hukum keadilan ini dengan sebenar-benarnya, maka tanpa menerapkan hukuman mati pada pelaku tindak pidana korupsi sekalipun niscaya para calon-calon koruptor  itu akan ketakutan dibuat oleh hukum yang demikian. Andai hal itu nyata bukan sekedar mimpi belaka.Bicara tentang keadilan, semua orang pasti sepakat keadilan itu hanya memihak kebenaran. Bahkan, Keadilan dianggap sebagai satu-satunya prinsip hukum yang paling diutamakan di antara 2 prinsip hukum lain yakni kemnafaatan dan kepastian. Adil berarti mendudukkan sebagai mana mestinya (sesuai porsinya) suatu perkara. Sikap adil memunculkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Hakim ibarat ‘wakil’ tangan Tuhan di muka bumi, dalam mengadili suatu perkara wajib mengedepankan prinsip keadilan. Namun bagaimana realitas pengadilan di Indonesia? Tengoklah kasus remaja pencuri sandal buntut yang terancam hukuman 5 tahun penjara! Dikutip dari suaramerdeka.com,  AAL remaja berusia 15 tahun tak pernah menyangka jika  sepasang sandal jepit butut warna putih kusam yang ditemukannya di pinggir Jalan Zebra, Kota Palu, akan menyeretnya ke meja hijau. Jaksa mendakwa AAL dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. links: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/02/105802/Ironis-Pencuri-Sandal-Jepit-Dihukum-Lebih-Berat-dari-Koruptor Lalu bagaimana dengan para koruptor yang telah mencuri uang milyaran rupiah? Sebut saja beberpa pelaku korupsi macam dengan terdakwa Budi Mulya dalam kasus korupsi pemberian FPJP Bank Century yang telah merugikan negara Rp 7 triliun dengan hanya vonis 10 tahun, terdakwa Indar Atmanto dalam kasus korupsi penggunaan jaringan telekomunikasi yang telah merugikan negara Rp 1,3 triliun dengan hanya vonis 8 tahun, atau mantan presiden PKS Luhfi Hasan Ishaq bersama rekannya Ahmad Fathanah yang menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama dalam kasus korupsi impor sapi yang hanya dihukum 16 tahun penjara dan denda Rp1 milliar. Memang baik kasus pencurian maupun korupsi sama-sama mempunyai kesamaan yakni sama-sama mengambil barang milik orang lain yang artinya kedua perbuatan tersebut adalah “terlarang”. Namun adakah keduanya sama persis? Apakah sama hasil curian sandal yang harganya tidak lebih dari Rp 50rb yang hanya merugikan satu orang saja dibandingkan dengan hasil korupsi milyaran rupiah yang telah menyengsarakan lebih dari 200 juta penduduk di Negeri ini? Marilah kita  tengok kembali! Anda penah belajar “perbandingan senilai” dalam matimatika? Coba kita hitung kedua kasus tersebut dengan menggunakan perbandingan senilai. Jika pencuri sandal yang seharga Rp 50rb dihukum 5 tahun penjara, maka berapa lama seharusnya mantan presiden PKS Luhfi Hasan Ishaq yang menerima suap Rp 1,3 milyar dihukum penjara? Rp 50.000 = 5 tahun penjara, berarti Rp 10.000 = 1 tahun penjara. Rp 1.300.000.000 = 130.000*Rp 10.000, Itu artinya hukuman penjara LHI seharusnya “130.000 tahun penjara”, wow lama banget tuh. Kita ambil umur rata-rata warga Indonesia adalah 60 tahun, maka 130.000 tahun dibagi 60 tahun = 2.166,6. Artinya sebanyak 2.166,6 anak-cucu-cicit-dst dari keturunan Lufhi Hasan Ishaq harus menanggung dosanya. Wow benar-benar gila. Hal ini belum termasuk implikasi sosial hasil dari perbuatan korupsi tersebut. Dan cobalah hitung, berapa Banyak rakyat Indonesia yang disenggarakan karena ulah LHI? Seribu rakyat, sejuta rakyat, 250 juta rakyat? Siapa yang tahu berapa pastinya? Jika unsur implikasi sosial tersebut dimasukkan berapa lama LHI harus dipenjara? Mungkin benar apa yang dikatakan oleh beberapa ahli hukum “idealis” yang menyatakan bahwa dosa hasil tindak pidana korupsi itu sampai 7 keturunan pun niscaya tidak akan habis mengingat korupsi adalah tindakan kejahatan “L-U-A-R B-I-A-S-A” destruktif. Lalu berapa lama penjara  yang seharusnya Budi Mulya dan   Indar Atmanto dihukum penjara? Dan faktanya, ICW mencatat bahwa mayoritas koruptor dihukum ringan hanya 1-2 tahun penjara. mayoritas-koruptor-divonis-ringan-hanya-1-2-tahun-penjara Seandainya hukum di Indonesia menerapkan asas hukum keadilan ini dengan sebenar-benarnya, maka tanpa menerapkan hukuman mati pada pelaku tindak pidana korupsi sekalipun niscaya para calon-calon koruptor  itu akan ketakutan dibuat oleh hukum yang demikian.
Cita-citaku Seorang Pelaut
Cita-cita saya ingin jadi seorang menjadi pelaut. Karena di Indonesia termasuk Negara maritim yang  mepunyai laut yang sangat luas. Saya ingin memajukan dibidang kelautan di Indonesia. Pelaut adalah nenek moyang bangsa Indonesia, karena Indonesia kurang maju di bidang kelautan. Dan saya ingin memajukan kelautan dalam bidang teknologi. Doakan Yah.
Pandangan Hidup
Padangan hidup saya menurut agama dan keyakinan saya yaitu Agama Islami. Menurut paduan Al-Quran, Pengertian pandangan hidup menurut para ahli- Hai,,, berjumpa lagi dalam blog sumber ilmu pengetahuan iniPernahkah kalian mendengar atau mungkin menyampaikan sendiri tentang pandangan hidup gue ya kayak gini, jadi orang lain ngga boleh memaksa, kemudian pandangan hidup orang beda-beda. Apa sih sebenarnya pandangan hidup itu? Kenapa setiap orang perlu mememiliki pandangan hidup? Nah kali ini pak guru akan menguraikan apa itu pandangan hidup atau ideology dalam kehidupan. Mari kita simak!


Pengertian Pandangan Hidup
Pandangan hidup merupakan sebuah hasil penalaran, pemikiran akal, sehingga dapat diakui kebenarannya. Kemudian atas dasar pemikiran ini manusia menggunaknnya sebagai pedoman, petunjuk, arahan dalam kehidupannya. Pandangan juga dapat diartikan sebagai pertimbangan, pendapat yang diperoleh dari hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah dalam waktu dna tempat hidupnya yang dapat digunakan sebagai petunjuk hidup di dunia.

Adapun sumber pandangan hidup manusia adalah:
1.    Pandangan hidup dari hasil renungan merupakan pandangan hidup yang relative kebenarannya, pandangan ini juga berasal dari kehidupannya.
2.    Pandangan hidup dari agama yakni pandangan hidup yang mutlak kebenrannya.
3.    Pandangan hidup sesuai dengan norma dan kebudayaan yang terdapat di suatu Negara tersebut.

Pandangan hidup juga dikenal sebagai pandangan hidup seorang muslim adalah suatu rangakian pandangan hidup yang didasari oleh ajaran agama Islam yang bersumber pada Al qur’an yang menempati posisi sentral, yaitu umat tunduk kepada agama yang diyakininya melalui ulama dna kitab suci yang disebutkan bahwa tujuan manusia hidup adalah mencapai ridha Allah SWT dan mempercayai dan menaati Firman Allah.

Adapun langkah-langkah berpandangan hidup yang baik adalah sebagai berikut:
a.         Mengerti tentang pandangan hidup itu sendiri
b.        Menghayati pandangan hidup agar memperoleh gambaran yang benar dan tepat.
c.         Mengenal dan mengetahui sebagai kodrat manusia dalam melakukan aktivitas hidupnya sehingga dengan demikian mengenal pandangan hidupnya.
d.        Meyakini apa tujuan hidup sehingga memperoleh kepastian dalam hidupnya.
e.         Mengadi pada hidup sehingga merasakan manfaat dalam kehidupannya.


Jumat, 28 April 2017

CINTA TERHADAP HEWAN PELIHARAAN


Nama     :Rifie Raenaldy
Kelas      :1IA13
Npm       :56416374
Judul      :Pecinta Hewan
Pecinta Landak Mini
Mungkin binatang mamalia yang satu ini masih asing buat kita semua. Binatang ini pernah menjadi ikon film kartun atau games di tahun 90an yang berwara biru yaitu Sonic the hedgehog. Senjata sekaligus tameng mereka ada di seluruh permukaan luar kulitnya berupa duri berongga yang dapat mengeras dalam sekejap. Binatang mamalia ini  penakut oleh karena itu akan melindungi dirinya secara cepat jika merasa terancam. Untuk melindungi dirinya, mereka akan membuat badannya menjadi bola sehingga semua bulu akan berada di luar. Sama seperti mamalia lain, binatang ini adalah binatang menyusui dan susu merupakan makanan pertamanya sampai dia cukup umur. Sama seperti kebanyakan mamalia, mereka suka sekali mencium bau lingkungannya, dan bau yang sudah tidak asing bagi mereka akan di rekam sehingga mereka tidak lagi takut. Landak mini ini adalah pemakan serangga, dan mereka biasa berburu pada malam hari.
Berat rata-rata mereka antara 1/2 ponds sampai 1 1/2 pounds dengan panjang mencapai 8 inchi. Umur hidup mereka bisa mencapai 8 tahun, dan cenderung tidak mudah sakit dan tidak memerlukan imune khusus. Biarkan mereka berada dalam suhu kamar normal dan kering karena itu kondisi alami mereka. Sekali lagi, jangan samakan landak mini dengan spesies landak “purcupine” dimana duri landak mini tidak beracun dan tidak berbahaya.
Salah satu ke unikan landak adalah warna dari bulu luarnya yang mempesona. Persilangan landak dapat menciptakan kreasi warna baru pada duri mereka
Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut.

Dan sesungguhnya kami telah mengurniakan ilmu pengetahuan kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman; dan mereka berdua bersyukur dengan berkata: "Segala puji tertentu bagi Allah yang dengan limpah kurniaNya memberi kami kelebihan mengatasi kebanyakan hamba-hambaNya yang beriman". Dan Nabi Sulaiman mewarisi (pangkat kenabian dan kerajaan) Nabi Daud; dan (setelah itu) Nabi Sulaiman berkata: "Wahai umat manusia, kami telah diajar mengerti bahasa pertuturan burung, dan kami telah diberikan serba sedikit dari tiap-tiap sesuatu (yang diperlukan); sesungguhnya yang demikian ini adalah limpah kurnia (dari Allah) yang jelas nyata"

Kamis, 13 April 2017

keindahan kebersihhan kosan


Nama                   : RIFIE RAENALDY
Npm                     : 56416374
Kelas                    : 1IA13
Matkul                 : Ilmu Budaya Dasar

Kebersihan adalah suatu keadaan di mana kita terbebas dari kotoran yang bersifat jasmani maupun rohani.

Manfaat menjaga kebersihan yaitu:
1. badan sehat karena selalu di bersihkan dan makan makanan yang bersih dan sehat.
2. pikiran jernih.
3. segar dan bersemangat
4. dihargai oleh orang lain.
KEINDAHAN

Untuk menciptakan nilai estetikadi dalam lingkungan dapat dengan menata lingkungan tersebut secara optimal. Menata lingkungan dapat di mulai dari lingkungan terkecil misalnya rumah, lingkungan sekolah dan lingkungan terbesar yaitu lingkungan umum.

1. Penataan Lingkungan
Penataan ruangan di perlukan supaya kesan rumah tidak sempit, bersih,andah, dan nyaman.
 a. warna dinding ruangan
 b. penempatan furnitur
 c. penataan pernik atau hiasan dalam ruangan



Minggu, 26 Maret 2017

Lukisan Kaca(Ilmu Budaya Dasar)

Nama           : Rifie Raenaldy
Npm            : 56416374
Kelas           : 1ia13
Tugas          : Ilmu Budaya Dasar

                            
Seorang Budayawan asal Cirebon yang meneruskan Budaya Lukisan Kaca. Syarulhimawan Fikrie lahir 29 Juni 1998. Dia mempunyai bakat turun-temurun dari bapaknya, Alhamdulilah Dia dapat beasiswa di Polimendia Jakarta. Dan Sekarang dia mengajari teman-temanya melukis kaca di Polimedia Jakarta. Planing dia kedepan melestarikan Budaya Lukisan Kaca.
Rifie    : Assalamu’alaikum?
Syarul  : Waa’alaikumsalam.
Rifie    : Rul gimana kabarnya?
Syarul  :  Baik fie, ente gimana?
Rifie    : Baik rul, ente masih nglukis kaca gak?
Syarul  : Masih, lu mau belajar?
Rifie    : Kagak nih mau nanya aja tetang Lukisan Kaca dari Cirebon.
Syarul  : Mau nanya tetang apa bukanya lu orang Cirebon!
Rifie    : Ya mau melestarikan Budaya aja emang salah rul?
Syarul : Waduh bagus-bagus fie
Contoh Lukisan Kaca :












Minggu, 08 Januari 2017

Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di   Facebook,   Instagram, dan   Telegram

Jalan Nasional Rute 1
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
 

Jalan Nasional Rute 1

Jalur Pantura, membentang dari Merak ke Banyuwangi.
Informasi rute
Panjang: 1.316 km (818 mi)
Persimpangan besar
Ujung Barat: Merak

   Jalan Nasional Rute 2
  Jalan Nasional Rute 3
  Jalan Nasional Rute 4
  Jalan Nasional Rute 5
  Jalan Nasional Rute 6
  Jalan Nasional Rute 7
  Jalan Nasional Rute 13
  Jalan Nasional Rute 14
  Jalan Nasional Rute 15
Jalan Nasional Rute 17
  Jalan Nasional Rute 19
  Jalan Nasional Rute 20
  Jalan Nasional Rute 23
  Jalan Nasional Rute 24
  Jalan Nasional Rute 25

Ujung Timur: Ketapang

Sistem jalan bebas hambatan
Jalan di Indonesia
←   Nasional 25
Nasional 2   →


Jalan Nasional Rute 1 adalah jalan utama di pulau Jawa yang lebih dikenal dengan nama Jalur Pantura (Jalur Pantai Utara). Jalan ini melewati 5 provinsi sepanjang 1.316 km di sepanjang pesisir pantai utara Jawa, yaitu Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rute ini menghubungkan dua pelabuhan penyeberangan yaitu Merak di ujung Barat pulau Jawa dan Ketapang di ujung Timur pulau Jawa. Merak merupakan pelabuhan penyeberangan menuju Sumatera sementara Ketapang merupakan pelabuhan penyeberangan menuju Bali. Jalan ini juga menjadi bagian dari AH 2.
Jalur ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi dan menjadi urat nadi utama transportasi darat, karena setiap hari dilalui 20.000-70.000 kendaraan. Jalur Pantura menjadi perhatian utama saat menjelang Lebaran, di mana arus mudik melimpah dari barat ke timur. Arus paling padat tedapat di ruas Jakarta-Cikampek-Cirebon-Tegal-Semarang. Di Cikampek, terdapat percabangan menuju ke Bandung (dan kota-kota di Jawa Barat bagian selatan). Di Tegal, terdapat percabangan menuju ke Purwokerto (dan kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan). Di Semarang, terdapat percabangan menuju ke timur (Surabaya-Banyuwangi) dan menuju ke selatan (Yogya-Solo-Madiun).
Jalur tersebut sangat sering dilalui saat mudik lebaran tiap tahunnya dan kini telah dipasangi CCTV agar kondisi dapat dipantau secara online oleh para pemudik. Hal tersebut sangat membantu pemudik untuk menghindari kemacetan dan memilih jalur alternatif lainnya selama arus mudik lebaran. Dengan adanya CCTV online, kepraktisan dan kenyamanan mudik menjadi meningkat.
Daftar isi
  [sembunyikan]
1Sejarah
2Rute
o 2.1Banten
o 2.2Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
o 2.3Jawa Barat
o 2.4Jawa Tengah
o 2.5Jawa Timur
3Jalan tol
4Lihat pula
5Referensi
Sejarah[sunting | sunting sumber]
 Artikel utama untuk bagian ini adalah: Jalan Raya Pos

Litografi pantai utara Jawa dekat Semarang (Franz Wilhelm Junghuhn, 1853)
Jalur ini sebagian besar pertama kali dibuat oleh Daendels yang membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dari Anyer ke Panarukan pada tahun 1808-an. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah untuk mempertahankan pulau Jawa dari serbuan Inggris. Pada era perang Napoleon, Belanda ditaklukkan oleh Perancis dan dalam keadaan perang dengan Inggris.
Rute[sunting | sunting sumber]

Suasana Jalur Pantura, 167 Km lagi menuju Cirebon
Jalur Pantura melintasi sejumlah kota-kota besar dan sedang di Jawa, selain Jakarta, antara lain Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi

Sejarah Keramat Plangon

Keramat Plangon merupakan salah satu objek wisata purbakala. Disebelah utara Keramat Plangon dibatasi oleh kebun dan sawah, disebelah timur dibatasi oleh Sungai Cipager, disebelah selatan dibatasi oleh sawah, dan disebelah barat dibatasi oleh jalan raya. Luas Keramat Plangon yaitu sekitar 48 hektar.

Di Keramat Plangon terdapat dua makam yaitu makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan. Plangon terletak di sebelah selatan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon, tepatnya di wilayah Sumber.

Keramat Plangon Dan Misteri Monyet Pesugihan
Plangon terbentuk pada abad ke- 14 ketika Pangeran Panjunan dan adiknya, Pangeran Kejaksan, datang ke Giri Toba beserta pasukannya yang berjumlah sekitar 60 orang. Sebelum memasuki Giri Toba, Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan terlebih dahulu memantau daerah disekitarnya dan memerintahkan pasukannya untuk membuat tempat peristirahatan, tempat peristirahatan ini kemudian dikenal dengan nama Plangon.

Untuk membuat alat-alat pertanian seperti perkakas golok, gergaji, parang, cangkul, bajlong, bodem, linggis, serta perkakas lainnya, Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan mendirikan tempat pandai besi. Tempat Pandai Besi ini kemudian diberi nama Pande Domas yang berlokasi disebelah barat jembatan gantung yang melintas menuju daerah Wanantara.

Sebagai kenang-kenangan atas keberadaan mereka ketika bermukim, Pangeran Panjunan menanam tujuh buah pohon beringin di Pande Domas. ketujuh beringin itu oleh masyarakat babakan dikenal dengan nama Beringin Pitu.
Keramat Plangon Dan Misteri Monyet Pesugihan

Objek Wisata Keramat Plangon biasanya ramai dikunjungi wisatawan pada tanggal 2 Syawal, 11 Dzulhijjah dan 27 Rajab. Pada tanggal 2 Syawal dan 27 Rajab pengunjung akan datang lebih ramai karena ditanggal tersebut adalah tanggal wafatnya Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan. Pengunjung yang datang pada tanggal tersebut bisanya melakukan ziarah dan doa bersama.

Di Keramat Plangon juga terdapat sekitar ratusan monyet. Menurut kabar yang beredar monyet-monyet tersebut merupakan jelmaan dari orang yang mencari Pesugihan dari Siluman Monyet.

Bagi sebagian orang yang percaya dikatakan bahwa monyet tersebut adalah abadi. Monyet-monyet tersebut tidak akan mati karena terkena kutukan akibat pesugihan yang telah dilakukannya sehingga ini merupakan azab yang terus ditanggungnya hingga akhir zaman.

Kesultanan Cirebon

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Pakungwati Cirebon
1430–1677

Bendera
Ibu kotaCirebon
BahasaCirebon,SundaJawa
AgamaIslam
Bentuk PemerintahanMonarki konstitusional (adanya pepakem Cirebon)
Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan
 - 1430[1][2][3][4] - 1479Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang
 - 1479 - 1568 (Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang menyerahkan kekuasaan kepada keponakannya)Sultan Cirebon II Sunan Gunung Jati
 - 1649 - 1666 (penguasa terakhir kesultanan Cirebon sebelum dibagi menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman)Panembahan Girilaya
Sejarah
 - Didirikan1430
 - Pembagian Kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman1677
Pendahulu
Pengganti
Kerajaan Sunda
Kesultanan Kasepuhan
Kesultanan Kanoman
Bagian dari seri artikel mengenai
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Salakanagara (130-362)
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kendan (536–612)
Galuh (612-1528)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banjar (1520–1860)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)
Kerajaan Tayan (Abad Ke-15-sekarang)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Palembang (1659-1823)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan cirebon. letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi keraton kasepuhan cirebon.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban NagariCirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.[5]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Perkembangan awal[sunting | sunting sumber]

Ki Gedeng Tapa[sunting | sunting sumber]

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi) ).
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi.[6] yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman,kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah, disana nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.

Ki Gedeng Alang-Alang[sunting | sunting sumber]

Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.[butuh rujukan]

Pendirian[sunting | sunting sumber]

Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430- 1479)[sunting | sunting sumber]

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.[butuh rujukan]
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M [1][2][3][4] . Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.[butuh rujukan]
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.
Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun 1529 m[7]

Sunan Gunung Jati (1479-1568)[sunting | sunting sumber]

Lukisan Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di kabupaten TubanJawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jatikabupaten Cirebonpropinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagaamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia : pusatnya dunia)[8]
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[9]
Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali ditangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti[8][9]. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon : gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.[10]
  • Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
  • Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
  • Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
  • Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti MajalengkaKuninganKawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[11]

Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran Kuningan[sunting | sunting sumber]

Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 m, dengan penguasanya Ki gede Luragung, pada 1 September 1488, Sunan Gunung Jati menjadikan putera Ki gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati) yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat kuningan dikenal dengan nama Sangkuku diangkat sebagai Depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kuningan[12].

Datangnya Gamelan Suka Hati dari kerajaan Demak[sunting | sunting sumber]

Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon menjelaskan bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) pada tahun 1521 pada penyerangan ke Melaka yang dikuasi Portugis[13], Ratu Ayu, putri Sunan Jati (Sultan Cirebon kedua) dan istri dari Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) kemudian membawa gamelan dakwah yang disebut "Sukahati" (bahasa Indonesia : kebahagian karena ikhlas) ke wilayah Cirebon dari Demak sebagai benda untuk mengenang mendiang suaminya. Budayawan Cirebon meyakini bahwa Gong Sukahati (bahasa Indonesia : gong Sekati) merupakan alat musik gamelan dakwah pertama yang dibawa masuk ke Cirebon dari Demak.[14] Sementara Cirebon sudah memiliki gamelan dakwahnya sendiri disaat yang sama, dalam bahasa Cirebon orang-orang yang sedang terlibat dalam pagelaran gong Suka Hati disebut Sukaten atau Sekaten dari tata bahasa Cirebon Suka hati + akhiran -an (yang berarti orang yang melaksanakan kata benda) sehingga Suka(h)at(ia)n menjadi Sukaten (huruf "h" tidak dibaca dan "i" bertemu "a" menjadi "e") atau sering masyarakat luar Cirebon mengatakan Sekaten, hingga sekarang kesenian Gong Sekati Cirebon masih sering diperdengarkan di keraton-keraton Cirebon.

Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten[sunting | sunting sumber]

Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum [15](penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.[16]
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m.[10] Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Latar belakang penguasaan Banten[sunting | sunting sumber]
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.[17]
Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten[18]
Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah[19], sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt)[20], aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[21]dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.[17]
Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[22] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[23] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) [24]Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[25]
Penguasaan Banten[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1522,[26], Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.[27]Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.[28]
Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[29] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten GirangKi Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin[30]
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya[31] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.[32]
Penyatuan Banten[sunting | sunting sumber]
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung JatiMaulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir[33]
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[26] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai kadipaten dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m)[34], kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten[35] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten[36]Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.
menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.[33]
Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)[37]

Dikuasainya Sunda Kelapa pada 1527[sunting | sunting sumber]

Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.[38]
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[39] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang dipercaya sebagian masyarakat Cirebon berasal dari Passai sudah dikenal dibeberapa kalangan masyarakat Demak dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya berpindah pindah dari Passai ke Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua tempat tersebut dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut membantu dalam hal syiar Islam, di Cirebon setelah meninggalnya Sultan Demak Pangeran Sebrang Lor ia kemudian menikahi mantan Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal dari kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun[10], hal ini membuat Fatahilah menjadi menantu Sunan Gunung Jati dan kesultanan Demak
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[40] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar Sunda Kelapa yang bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[25]
Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari kesultanan Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan Sunda dengan Portugis sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa[41]
Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit kesultanan Cirebon, kesultanan Demak dan kesultanan Banten (pada saat itu Banten masih menjadi kadepaten dibawah kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak dibawah pimpinan Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati[42]atas wilayah Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa sendirian.
Pada saat menyerang Sunda Kelapa di tahun 1527, menurut sejarahwan dan budayawan Betawi Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item tewas dan tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah membumihanguskan perkampungan yang ada disana termasuk perkampungan yang didiami tiga ribu orang muslim Betawi.[25] yang pemukimannya berada di wilayah Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar Ikan, Jakarta, Fatahilah kemudian membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat Kali Besar (terusan sungai di sebelah barat Ciliwung), masyarakat muslim Betawi yang rumahnya berada didekat istananya diusir dan rumahnya dibumihanguskan[25], Sunda kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.
Keterlambatan bantuan Portugis[sunting | sunting sumber]
Pada pertempuran antara kerajaan Sunda dengan gabungan prajurit Banten, Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir dengan tewasnya Wak Item (Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua puluh anggotanya serta sebagian penduduk Sunda Kelapa salah satunya disebabkan karena keterlambatan bantuan dari Portugis, Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa sebuah koloni Portugis di India. Keberangkatan ke kerajaan Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun (kapal perang) yang dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di Teluk Benggala, tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai oleh Maulana Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco De Xa memancangkan Padrão pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de São Jorge" (dibaca : Rio de Saun Horhe) yang berarti sungai Santo Jorge. Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan diri, hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Duarte Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah, dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Duarte Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu di wilayah Pantai Emas Portugal yang merupakan koloni Portugis di Afrika yang sekarang menjadi bagian dari negara Ghana.

Dikuasainya Rajagaluh pada 1528[sunting | sunting sumber]

Perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh bermula dari permintaan kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara langsung menjadikan kesultanan Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan Rajagaluh.
Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh prabu Cakraningrat (raja Rajagaluh) adalah depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kiban atau pada masyaraakat Cirebon dikenal dengan nama Arya Kiban (depati palimanan), rombongan pimpinan depati Kiban berulang kali berusaha memasuki wilayah kota Cirebon namun selalu ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan untuk memasuki kota Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon kemudian memeluk agama Islam[43]
Pada masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh, wilayah Palimanan (sekarang terdiri dari CiwaringinGempolPalimanan serta sebagian dari Dukupuntang yang dahulu disebut sebagai kedondong), merupakan wilayah kerajaan Rajagaluh yang wilayahnya paling dekat dengan pantai.
Duta kedua yang dikirim prabu Cakraningrat adalah demang Dipasara yang membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya. demang Dipasara tidak berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan rombongannya bertemu dengan pangeran depati Kuningan (putra Ki gede Luragung yang diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati )[12] dan pasukannya yang memintanya kembali ke Rajagaluh dengan membawa pesan agar Rajagaluh tunduk kepada kesultanan Cirebon.
Pangeran Depati Kuningan kemudian memberitahu peristiwa pertemuannya dengan Demang Dipasara kepada Sunan Gunung Jati sekaligus memohon izin untuk menyerang kerajaan Rajagaluh, sebelum menyerang, Pangeran Depati Kuningan membuat pertahanan di Plered sekaligus mengirimkan duta yaitu Ki Demang Singagati dengan membawa pesan kepada prabu Cakraningrat agar prabu dan rakyatnya memeluk Islam dan menggabungkan diri dengan kesultanan Cirebon namun pesan tersebut ditolak prabu Cakraningrat.
Perang Palimanan[sunting | sunting sumber]
Perang Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan Ki Demang Singagati yang membawa pesan penolakan dari prabu Cakraningrat. Prajurit kesultanan Cirebon pada mulanya dipimpin langsung oleh Pangeran Depati Kuningan sementara kerajaan Rajagaluh berada dibawah Depati Kiban (penguasa Palimanan).
Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan bantuan kekuatan, prajurit Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk kerajaan Rajagaluh dibawah pimpinan Sanghyang Gempol sementara prajurit Pangeran Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan Cirebon ditambah 700 orang pasukan kesultanan Demak yang pada saat itu sedang berada di kesultanan Cirebon untuk keperluan pengawalan Sultan Demak yang pada saat itu sedang berada di Cirebon[43]
Pada perang Palimanan, Depati Kiban dan Sanghyang Gempol dapat dikalahkan, pasukan kesultanan Cirebon kemudian bergerak menuju ibukota Rajagaluh dan mengepung istana kerajaan Rajagaluh.
Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan Cirebon dan kerajaan Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon, sementara para pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.

Pembagian wilayah taklukan antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon[sunting | sunting sumber]

Setelah Kerajaan Sunda runtuh maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara terbagi dua. Menurut Carita Sajarah BantenSunan Gunung Jati pada abad ke 15[44] membagi wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai Cipunegara masuk wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai Angke menjadi wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama Jayakarta.[19][45].

Fatahillah (1568-1570)[sunting | sunting sumber]

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.[butuh rujukan]

Panembahan Ratu I (1568-1649)[sunting | sunting sumber]

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 81 tahun[46].
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin ini dikatakan bahwa keraton Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai dibangun disekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, namun beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Danang Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan PajangDanang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan.[47] Pada masa pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya ;
  • Pajang dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putera dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang
  • Demak berhasil dikuasai dan kemudian dia menempatkan seseorang dari wilayah Yuwana
  • Kedu dan Bagelen (sebelah barat pegunungan menoreh) juga berhasil dikuasai
  • Madiun mengakui kekuasaan Mataram pada tahun 1590
  • Surabaya berhasil dikuasai
  • Kediri berhasil dikuasai
  • Priyangan sebelah timur berhasil dikuasai
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin, kesultanan Cirebon berhasil mempertahankan hubungan baik antara kesultanan Banten dengan kesultanan Mataram, hal itu disebabkan adanya hubungan keluarga antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan sunan Gunung Jati dan Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram yang sangat menghormati Pangeran Mas sebagai gurunya, pada masa itu Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dikatakan sebagai salah satu murid kesayangan Pangeran Mas[48]

Persahabatan dengan Mataram dan dibangunnya Benteng Kuta Cirebon[sunting | sunting sumber]

Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, namun hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan.[49] Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.
Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596[50] dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.

Pembuatan kereta Singa Barong[sunting | sunting sumber]

Kereta Singa Barong dibuat atas perintah Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1649 m berdasarkan Candrasangkala yang berbunyi iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka jawa (tahun Jawa) [42], menurut H.B Vos, kereta Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi [51]
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa Kaliwulu[52]

Panembahan Ratu II (1649-1666)[sunting | sunting sumber]

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.[butuh rujukan]
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.
Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya, pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik tahta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, sekitar tahun 1650-an Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta kedua putera tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya untuk berkunjung ke keraton Mataram di kota Gede sekaligus menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon. Selepas acara penghormatan selesai, beliau bersama kedua puteranya dilarang kembali ke Cirebon dan tinggal di lingkungan Mataram selama 12 tahun hingga kematiannya.[53] Kebijakan tersebut merupakan kebijakan politik Amangkurat I terhadap para penguasa pesisir, hal yang sama juga dialami oleh pangeran Prasena, anak dari pangeran Tengah penguasa kerajaan Arosbaya (Bangkalan) di Madura, pada tahun 1624, empat tahun setelah pangeran Tengah meninggal dunia pada 1620, Mataram menyerang kerajaan Arosbaya, wali raja pada saat itu pangeran Mas dari Arosbaya (adik dari pangeran Tengah sekaligus paman bagi pangeran Prasena yang pada saat itu masih kecil) berhasil melarikan diri ke Demak sementara pangeran Prasena berhasil dibawa ke Mataram dan diangkat menjadi adipati Cakraningrat penguasa Madura bagian barat[54], namun selama menjadi adipati, pangeran Prasena menghabiskan waktunya di Mataram mirip seperti kejadian yang menimpa pangeran Abdul Karim atau dikenal dengan nama pangeran Girilaya.
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.[butuh rujukan]

Perwalian oleh Pengeran Wangsakerta[sunting | sunting sumber]

Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat biasa), maka Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali.[55] keluarga akhirnya menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.

Lepasnya Rangkas Sumedang kepada Belanda[sunting | sunting sumber]

Sepeninggal sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda, perjianjian antara keduanya untuk saling membantupun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi Gubernur Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima oleh sultan Mataram, Amangkurat I dan puteranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibukota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya)[48]
Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi kabupaten Karawangkabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.[48]
Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I kemudian meminta bantuan kesultanan Bantensultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton mataram, orang-orang yang ada didalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri[56], awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para pangeran Cirebon ada diantara para tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke kesultanan Banten[48]
Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Rangkas Sumedang (masyarakat sekarang lebih mengenalnya dengan nama "tanah Krawang") yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama Kasepuhan dan Kanoman mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Rangkas Sumedang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.

Pembagian Kesultanan Cirebon[sunting | sunting sumber]

Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten di tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton[55]
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan :
  • Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
  • Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon(Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

Masa kolonial dan kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

Perkembangan terakhir[sunting | sunting sumber]

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan takhta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.