Kesultanan Pakungwati Cirebon |
|
 Bendera
|
Ibu kota | Cirebon |
Bahasa | Cirebon,Sunda, Jawa |
Agama | Islam |
Bentuk Pemerintahan | Monarki konstitusional (adanya pepakem Cirebon) |
Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan | |
- | 1430[1][2][3][4] - 1479 | Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang |
- | 1479 - 1568 (Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang menyerahkan kekuasaan kepada keponakannya) | Sultan Cirebon II Sunan Gunung Jati |
- | 1649 - 1666 (penguasa terakhir kesultanan Cirebon sebelum dibagi menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman) | Panembahan Girilaya |
Sejarah | |
- | Didirikan | 1430 |
- | Pembagian Kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman | 1677 |
|
Kesultanan Cirebon adalah sebuah
kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara
pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara
Jawa Tengah dan
Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan
Jawa dan
Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi
kebudayaan Jawa maupun
kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan cirebon. letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi
keraton kasepuhan cirebon.
Menurut
Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah
Babad Tanah Sunda dan
Atja pada naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari,
Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama
Caruban (
Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (
belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan
cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi
Cirebon.
[5]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan
Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi) ).
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan
nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama
Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut
Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi.
[6] yang sekarang menjadi bagian dari kompleks
keraton Kanoman,
kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan
nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah
haji ke
Mekah, disana
nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga
nyimas tidak ikut kembali ke
Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan
haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka
Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
[butuh rujukan]
Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430- 1479)[sunting | sunting sumber]
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
[butuh rujukan]
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun
Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan
Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M
[1][2][3][4] . Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
[butuh rujukan]
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan
Kesultanan Demak.
Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun 1529 m
[7]

Lukisan Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa
Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan
Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari
Mesir) yang sebelumnya menikahi
Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan
Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan
Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai
Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
[9]
Syarif Hidayatullah melalui lembaga
Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu
Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya
Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang
muslim jauh sebelum menikah dengan prabu
Silih Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali ditangan prabu
Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah
Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
“ | Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)
| ” |
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu
Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti
[8][9]. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (
bahasa Cirebon :
gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan
kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.
[10]
- Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
- Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
- Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
- Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran Kuningan[sunting | sunting sumber]
Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah
Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 m, dengan penguasanya
Ki gede Luragung, pada 1 September 1488,
Sunan Gunung Jati menjadikan putera
Ki gede Luragung (anak angkat
Sunan Gunung Jati) yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat kuningan dikenal dengan nama
Sangkuku diangkat sebagai
Depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kuningan
[12].
Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon menjelaskan bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) pada tahun
1521 pada penyerangan ke Melaka yang dikuasi Portugis
[13], Ratu Ayu, putri Sunan Jati (Sultan Cirebon kedua) dan istri dari Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) kemudian membawa gamelan dakwah yang disebut "Sukahati" (bahasa Indonesia : kebahagian karena ikhlas) ke wilayah
Cirebon dari
Demak sebagai benda untuk mengenang mendiang suaminya. Budayawan Cirebon meyakini bahwa
Gong Sukahati (bahasa Indonesia : gong Sekati) merupakan alat musik gamelan dakwah pertama yang dibawa masuk ke Cirebon dari Demak.
[14] Sementara Cirebon sudah memiliki gamelan dakwahnya sendiri disaat yang sama, dalam
bahasa Cirebon orang-orang yang sedang terlibat dalam pagelaran gong
Suka Hati disebut
Sukaten atau
Sekaten dari tata bahasa Cirebon
Suka hati + akhiran -an (yang berarti orang yang melaksanakan kata benda) sehingga
Suka(h)at(ia)n menjadi
Sukaten (huruf "h" tidak dibaca dan "i" bertemu "a" menjadi "e") atau sering masyarakat luar Cirebon mengatakan
Sekaten, hingga sekarang kesenian
Gong Sekati Cirebon masih sering diperdengarkan di keraton-keraton Cirebon.
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (
Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai
Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti
jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat
Wahanten dan
pucuk umum [15](penguasa)
Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah
Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi
pucuk umum (penguasa) untuk wilayah
Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi
pucuk umum untuk wilayah
Wahanten Girang.
[16]
Di wilayah
Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran
Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m.
[10] Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan
Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri
Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.
Persekutuan
kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (
Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.
[17]
Pada tahun 1513 m,
Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan
Banten[18]
Syarif Hidayatullah mengajak putranya
Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke
Mekah[19], sekembalinya dari
Mekah Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu
Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama
Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt)
[20], aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh
Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman
Wahanten seperti gunung Pulosari di
kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para
ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan
[21]dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu
Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan
kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman
kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga
kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan
kerajaan Sunda, Jaya dewata (
Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan
kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (
Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu
Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara
kerajaan Sunda dan
Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik
kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh
kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.
[17]
Pada tahun 1522 Gubernur
Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)
[22] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif
Pada tanggal
21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa
[23] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau
padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu.
Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat
Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat
Mundinglaya Dikusumah, dari pihak
kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh
Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung),
Samgydepaty (Sang Depati),
e outre Benegar (dan bendahara)
e easy o xabandar (dan Syahbandar)
[24]Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.
[25]
Pada tahun 1522,
[26], Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.
[27]Sementara yang menjadi
pucuk umum (penguasa) di
Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari
Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan
Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.
[28]
Pada tahun 1524 m,
Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mendarat di pelabuhan
Banten[29] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa
Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan
Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut
Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan
kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mencapai
Wahanten Girang,
Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada
Maulana Hasanuddin[30]
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa
pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah
Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman
Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan
Wahanten Girang, sehingga
pucuk umum Arya Suranggana meminta
Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya
sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika
sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka
Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya.
Sabung Ayam pun dimenangkan oleh
Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya
[31] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.
[32]
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.
[26] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya
pucuk umum (penguasa)
Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah
Wahanten Pasisir kepada
Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah
Wahanten Girang dan
Wahanten Pasisir disatukan menjadi
Wahanten yang kemudian disebut sebagai
Banten dengan status sebagai
kadipaten dari
kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m)
[34], kemudian
Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah
Banten diserahkan kepada
Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa
Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten
[35] meskipun demikian
Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten
[36]Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa
Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri
Banten dan bukannya
Maulana Hasanuddin.
menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak
Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam,
Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.
[33]
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang
Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan
lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
[38]
Lalu pada tahun 1522 Gubernur
Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)
[39] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang dipercaya sebagian masyarakat Cirebon berasal dari Passai sudah dikenal dibeberapa kalangan masyarakat Demak dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya berpindah pindah dari Passai ke Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua tempat tersebut dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut membantu dalam hal syiar Islam, di Cirebon setelah meninggalnya Sultan Demak Pangeran Sebrang Lor ia kemudian menikahi mantan Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak dari
Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal dari
kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun
[10], hal ini membuat Fatahilah menjadi menantu
Sunan Gunung Jati dan kesultanan Demak
Pada tanggal
21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa
[40] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau
padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu.
Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat
Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat
Mundinglaya Dikusumah, dari pihak
kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar Sunda Kelapa yang bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.
[25]
Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari
kesultanan Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan
kerajaan Sunda dengan
Portugis sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa
[41]
Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit kesultanan Cirebon,
kesultanan Demak dan
kesultanan Banten (pada saat itu
Banten masih menjadi
kadepaten dibawah kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak dibawah pimpinan
Maulana Hasanuddin putera
Sunan Gunung Jati[42]atas wilayah Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu Sultan Banten pertama
Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa sendirian.
Pada saat menyerang Sunda Kelapa di tahun 1527, menurut sejarahwan dan budayawan
Betawi Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item tewas dan tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah membumihanguskan perkampungan yang ada disana termasuk perkampungan yang didiami tiga ribu orang muslim Betawi.
[25] yang pemukimannya berada di wilayah Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar Ikan,
Jakarta, Fatahilah kemudian membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat Kali Besar (terusan sungai di sebelah barat Ciliwung), masyarakat muslim Betawi yang rumahnya berada didekat istananya diusir dan rumahnya dibumihanguskan
[25], Sunda kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.
Pada pertempuran antara
kerajaan Sunda dengan gabungan prajurit Banten, Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir dengan tewasnya Wak Item (Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua puluh anggotanya serta sebagian penduduk Sunda Kelapa salah satunya disebabkan karena keterlambatan bantuan dari Portugis, Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur
Goa sebuah koloni Portugis di
India. Keberangkatan ke
kerajaan Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun (kapal perang) yang dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di Teluk Benggala, tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai oleh
Maulana Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco De Xa memancangkan Padrão pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de São Jorge" (dibaca : Rio de Saun Horhe) yang berarti sungai Santo Jorge. Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan diri, hanya kapal
brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Duarte Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah, dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Duarte Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju
Pedu di wilayah
Pantai Emas Portugal yang merupakan koloni Portugis di
Afrika yang sekarang menjadi bagian dari negara
Ghana.
Perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh bermula dari permintaan kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara langsung menjadikan kesultanan Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan Rajagaluh.
Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh prabu Cakraningrat (raja Rajagaluh) adalah
depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kiban atau pada masyaraakat Cirebon dikenal dengan nama Arya Kiban (
depati palimanan), rombongan pimpinan
depati Kiban berulang kali berusaha memasuki wilayah kota Cirebon namun selalu ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan untuk memasuki kota Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon kemudian memeluk agama Islam
[43]
Pada masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh, wilayah Palimanan (sekarang terdiri dari
Ciwaringin,
Gempol,
Palimanan serta sebagian dari
Dukupuntang yang dahulu disebut sebagai kedondong), merupakan wilayah kerajaan Rajagaluh yang wilayahnya paling dekat dengan pantai.
Duta kedua yang dikirim prabu Cakraningrat adalah
demang Dipasara yang membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya.
demang Dipasara tidak berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan rombongannya bertemu dengan pangeran
depati Kuningan (putra
Ki gede Luragung yang diangkat anak oleh
Sunan Gunung Jati )
[12] dan pasukannya yang memintanya kembali ke Rajagaluh dengan membawa pesan agar Rajagaluh tunduk kepada kesultanan Cirebon.
Pangeran Depati Kuningan kemudian memberitahu peristiwa pertemuannya dengan
Demang Dipasara kepada
Sunan Gunung Jati sekaligus memohon izin untuk menyerang kerajaan Rajagaluh, sebelum menyerang, Pangeran Depati Kuningan membuat pertahanan di
Plered sekaligus mengirimkan duta yaitu
Ki Demang Singagati dengan membawa pesan kepada prabu Cakraningrat agar prabu dan rakyatnya memeluk Islam dan menggabungkan diri dengan kesultanan Cirebon namun pesan tersebut ditolak prabu Cakraningrat.
Perang Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan Ki Demang Singagati yang membawa pesan penolakan dari prabu Cakraningrat. Prajurit kesultanan Cirebon pada mulanya dipimpin langsung oleh Pangeran Depati Kuningan sementara kerajaan Rajagaluh berada dibawah Depati Kiban (penguasa Palimanan).
Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan bantuan kekuatan, prajurit
Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk kerajaan Rajagaluh dibawah pimpinan Sanghyang Gempol sementara prajurit Pangeran
Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan Cirebon ditambah 700 orang pasukan
kesultanan Demak yang pada saat itu sedang berada di kesultanan Cirebon untuk keperluan pengawalan Sultan Demak yang pada saat itu sedang berada di Cirebon
[43]
Pada perang Palimanan, Depati Kiban dan Sanghyang Gempol dapat dikalahkan, pasukan kesultanan Cirebon kemudian bergerak menuju ibukota Rajagaluh dan mengepung istana kerajaan Rajagaluh.
Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan Cirebon dan kerajaan Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon, sementara para pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh
Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
[butuh rujukan]
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 81 tahun
[46].
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin ini dikatakan bahwa keraton Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai dibangun disekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, namun beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Danang Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan
Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan
Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegara) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan
Pajang,
Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan.
[47] Pada masa pemerintahannya,
Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya ;
- Pajang dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putera dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang
- Demak berhasil dikuasai dan kemudian dia menempatkan seseorang dari wilayah Yuwana
- Kedu dan Bagelen (sebelah barat pegunungan menoreh) juga berhasil dikuasai
- Madiun mengakui kekuasaan Mataram pada tahun 1590
- Surabaya berhasil dikuasai
- Kediri berhasil dikuasai
- Priyangan sebelah timur berhasil dikuasai
Persahabatan dengan Mataram dan dibangunnya Benteng Kuta Cirebon[sunting | sunting sumber]
Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan
Mataram oleh
Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, namun hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan.
[49] Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari
Danang Sutawijaya Raja
Mataram.
“ | Waktu semono maksi akikib, Kuta Cirebon masih Sinaroja, Adi wuku sakubenge, Tan ana Durga ngaru, Kadi gelare kang rumihin, Jawa gunung kapurba, Katitiha ngulun, Sira koli tiwa-tiwa, Nagara gung Mataram pon anglilani, Ing Crebon yen gawea
Taktkala itu masih tertutup, Kuta Cirebon masih utuh dibangun pagar sekelilingnya, benteng itu tidak ada yang mengganggu, seperti jaman dahulu kala pulau Jawa yang dibentengi oleh gunung-gunung, demikian juga dengan Cirebon, maka negara agung Mataram pun merestui (membantu) proyek yang sedang dikerjakan Cirebon (membuat benteng Kuta Cirebon)
| ” |
Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596
[50] dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.
Kereta Singa Barong dibuat atas perintah Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1649 m berdasarkan
Candrasangkala yang berbunyi
iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka jawa (tahun Jawa)
[42], menurut H.B Vos, kereta Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi
[51]
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah
Ki Nataguna dari
desa Kaliwulu[52]
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
[butuh rujukan]
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.
Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya, pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik tahta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, sekitar tahun 1650-an
Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta kedua putera tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya untuk berkunjung ke keraton Mataram di
kota Gede sekaligus menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon. Selepas acara penghormatan selesai, beliau bersama kedua puteranya dilarang kembali ke Cirebon dan tinggal di lingkungan Mataram selama 12 tahun hingga kematiannya.
[53] Kebijakan tersebut merupakan kebijakan politik
Amangkurat I terhadap para penguasa pesisir, hal yang sama juga dialami oleh pangeran Prasena, anak dari pangeran Tengah penguasa kerajaan Arosbaya (Bangkalan) di Madura, pada tahun 1624, empat tahun setelah pangeran Tengah meninggal dunia pada 1620, Mataram menyerang kerajaan Arosbaya, wali raja pada saat itu pangeran Mas dari Arosbaya (adik dari pangeran Tengah sekaligus paman bagi pangeran Prasena yang pada saat itu masih kecil) berhasil melarikan diri ke Demak sementara pangeran Prasena berhasil dibawa ke Mataram dan diangkat menjadi adipati Cakraningrat penguasa Madura bagian barat
[54], namun selama menjadi adipati, pangeran Prasena menghabiskan waktunya di Mataram mirip seperti kejadian yang menimpa pangeran Abdul Karim atau dikenal dengan nama pangeran Girilaya.
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
[butuh rujukan]
Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat biasa), maka
Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali.
[55] keluarga akhirnya menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi
Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.
Lepasnya Rangkas Sumedang kepada Belanda[sunting | sunting sumber]
Sepeninggal
sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda, perjianjian antara keduanya untuk saling membantupun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi
Gubernur Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima oleh sultan Mataram,
Amangkurat I dan puteranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibukota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya)
[48]
Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi
kabupaten Karawang,
kabupaten Purwakarta dan
kabupaten Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.
[48]
Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat ditahan oleh
Amangkurat I kemudian meminta bantuan
kesultanan Banten,
sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton mataram, orang-orang yang ada didalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri
[56], awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para pangeran Cirebon ada diantara para tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke
kesultanan Banten[48]
Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Rangkas Sumedang (masyarakat sekarang lebih mengenalnya dengan nama "tanah Krawang") yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan
Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama
Kasepuhan dan
Kanoman mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Rangkas Sumedang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah
Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677,
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka
Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten di tahun yang sama setelah mereka tiba di
kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton
[55]
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan :
- Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
- Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
- Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi
Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon(Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam
Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan takhta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.